Jumat, 02 Juli 2010

STRATEGI INTERVENSI DALAM PERSPEKTIF PENGEMBANGAN SISTEM AGRIBISNIS *)

STRATEGI INTERVENSI DALAM PERSPEKTIF PENGEMBANGAN SISTEM AGRIBISNIS  

Oleh : Tri Yulisman Eka Putra 

BAB I

PENDAHULUAN

Upaya untuk menempatkan pembangunan sistem agribisnis sebagai penggerak utama (grand strategy) perekonomian nasional sangatlah rasional, karena menurut data empiris menunjukkan bahwa agribinis telah memberikan kontribusi terbesar pada penumbuhan produk domestik bruto (PDB) dan penyerapan tenaga kerja.

Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa pada masa krisis yang hebat, yang dimulai pada bulan Juli 1997, hanya sektor pertanian (dalam persepsi agribisnis) yang merupakan sektor yang mampu bertahan dan masih mampu tumbuh secara positif walaupun nilainya hanya 0,26 % (Gumbira-Sa’id, 2001).

Banyak kalangan yang sependapat bahwa usaha di bidang agribisnis merupakan sektor yang memiliki peranan strategis dan diyakini tidak saja dapat dijadikan tumpuan dalam penyerapan tenaga kerja dengan beragam lapangan usaha, tetapi dapat diandalkan sebagai penghasildan sekaligus penghemat devisa. Kontribusi agribisnis terhadap bidang sosial dan ekonomi ini sesungguhnya tidak luput dari berbagai ujian seiring dengan terjadinya krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, diawali oleh krisis moneter yang melanda Thailand, Korea Selatan dan terus merambat ke sebagian besar Negara-negara di Asia Timur. Indonesia termasuk Negara yang merasakan dampak yang paling serius dan sangat luas. Hal ini terlihat dari indikator ekonomi makro pada tahun 1998 seperti terjadinya kontraksi ekonomi yang mencapai –13,8 persen, di lain pihak inflasi meningkat hingga 76 %, dan nilai tukar rupiah pun merosot kira-kira 300 % atau lebih. Dalam situasi seperti ini, kita menyaksikan bahwa sektor agribisnis tetap mampu memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian nasional (Muslimin Nasution, 1999).

Lebih jauh dikatakan oleh Gumbira-Sa’id (2001), bahwa sektor agribisnis yang selama ini telah terpinggirkan dan sering dilecehkan sebagai sektor yang sulit menghela pertumbuhan ekonomi nasional, ternyata secara alami telah disadari kembali sebagai sektor yang harus dijadikan andalan pertumbuhan ekonmi nasional. Hal ini terjadi karena keunggulan komparatifnya yang dapat dijadikan keunggulan kompetitif, apabila para elit politik secara fokus menjadikan sistem agribisnis sebagai ujung tombak perekonomian Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan.

Jauh sebelumnya, secara historis sektor agribisnis selalu memberikan kontribusi yang dapat diandalkan bagi perolehan devisa non migas, khususnya dari penerimaan ekspor. Kenyataan sejarah tersebut sudah seharusnya dijadikan sebagai indikator bahwa peranan sektor agribisnis harus dikembangkan dan dipacu kinerja optimalnya.

Selain itu, sektor agribisnis memiliki peranan yang sangat besar dalam rangka pemulihan ekonomi Indonesia, diantaranya seperti dipaparkan di bawah ini (Gumbira Sa’id, 1998; 2000) :

@ Sektor agribisnis adalah satu-satunya harapan dalam pengadaan pangan nasional yang non impor.

@ Sektor agribisnis merupakan penyerap angkatan kerja nasional terbesar.

@ Pengembangan sektor agribisnis dalam semangat pelaksanaan UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999, akan mampu menjamin pengembangan wilayah di seluruh pelosok Indonesia.

@ Pengembangan agribisnis akan mampu mendukung pertumbuhan usaha kecil, menengah dan koperasi di pedesaan serta usaha informal di perkotaan.

Kebijaksanaan desentralisasi dalam era otonomi daerah telah memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk memikirkan dan melakukan yang terbaik agar daerahnya maju dan mandiri, yaitu dengan membangun daerahnya masing-masing sesuai dengan potensi sumberdaya yang dimiliki. Sektor agribisnis telah dijadikan sebagai basis sekaligus pemicu percepatan pembangunan ekonomi di daerah. Karena tidak dapat dipungkiri, bahwa sumberdaya agribisnislah yang paling siap didayagunakan oleh pemerintah daerah.





















BAB II

KONDISI AKTUAL SISTEM AGRIBISNIS DI INDONESIA

Agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri atas subsistem hulu, usahatani, hilir dan penunjang. Menurut Saragih (1999), batasan agribisnis adalah sistem yang utuh dan saling terkait di antara seluruh kegiatan ekonomi (yaitu subsistem agribisnis hulu, subsistem agribisnis budidaya, subsistem agribisnis hilir, subsistem jasa penunjang agribisnis) yang terkait langsung dengan pertanian.

Agribisnis diartikan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari unsur-unsur kegiatan : (1) pra-panen, (2) panen, (3) pasca-panen dan (4) pemasaran. Sebagai sebuah sitem, kegiatan agribisnis tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, saling menyatu dan saling terkait. Dengan kata lain, sistem agribisnis merupakan suatu rangkaian aktivitas yang saling berkaitan, yang keberhasilan pengembangannya akan sangat ditentukan oleh tingkat kehandalan dari setiap komponen yang menjadi subsistemnya.

Perkembangan agribisnis di Indonesia sebagian besar telah mencakup subsistem hulu, subsistem usahatani, dan subsistem penunjang, sedangkan subsistem hilir masih belum berkembang secara maksimal.

Di balik kemilau potensi sektor agribisnis yang begitu menjanjikan, ternyata masih sangat banyak permasalahan-permasalahan yang menjadi faktor penghambat pengembangan sistem agribisnis secara keseluruhan. Mengingat sangat banyak dan kompleksnya permasalahan yang melingkupi sistem agribisnis di Indonesia, maka dalam tulisan ini penulis mencoba untuk menyoroti sebagian kecil saja dari permasalahan-permasalahan yang ada, terutama yang saat ini masih sering terjadi di kalangan para pelaku agribisnis.

Dalam pengembangan sistem agribisnis, terdapat tiga pelaku utama yang saling terkait satu sama lain. Pada masing-masing pelaku tersebut, terdapat permasalahan-permasalahan sebagaimana diuraikan di bawah ini :

a. Pemerintah; yang berfungsi sebagai pendorong dan sebagai Pembina serta sebagai pemberi kebijakan, yang sering dikenal dengan istilah sebagai “dinamisator, fasilitator, dan stabilisator“.

Di Negara Indonesia, sekalipun banyak Direktorat Jenderal di bawah Departemen, seperti Departemen Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Kehutanan, Departemen Perikanan dan Kelautan, dan sebagainya. Namun belum bisa diandalkan untuk dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan sistem agribisnis yang handal, terpadu serta berkelanjutan. Berbagai subsektor yang terkait seperti pertanian, perbankan, pemasaran, dan lain-lain masih berjalan sendiri-sendiri. Atau dengan kata lain masih kentalnya sikap “ego sektoral” dari masing-masing perangkat pemerintahan, yang dalam skala lebih luas akan memicu terjadinya ketidakberdayaan struktur pemerintah dalam mengantisipasi sekaligus menangani berbagai permasalahan yang muncul dan berkembang di hamper semua lini kehidupan masyarakat.

Sebagai contoh dari adanya kecenderungan ego sektoral tersebut adalah, bahwa masih ada sejumlah kalangan di Depperindag yang selalu menyalahkan pasokan komoditi atau bahan baku yang berkualitas rendah dan tidak kontinu. Sementara di kalangan Departemen Pertanian, agribisnis dan juga agroindustri dinilai sebagai pemicu disinsentif bagi petani untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan keluarganya, karena produk yang dihasilkan oleh petani dibeli dengan harga murah.

Bukti lain dari “tidak akurnya” antar berbagai subsektor atau dalam bahasa yang lebih santun tidak adanya keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage) antar subsektor tersebut yang seharusnya menjadi pilar utama bagi terciptanya iklim yang mendukung pengembangan sistem agribisnis, sehingga sistem tersebut dapat terwujud secara lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan, salah satunya adalah tidak adanya “elastisitas transmisi harga (price transmission elasticity)“. Sebagai contoh, kalau sistemnya koheren yang baik maka bila harga di tingkat konsumen naik satu persen, maka minimal harga bahan baku di tingkat petani bisa naik 60 sampai 70 persen.

Hubungan ini tidak terjadi dalam pengembangan agribisnis maupun agroindustri. Bahkan bisa terjadi sebaliknya, seperti harga komoditas kopi di tingkat konsumen selalu naik, namun di tingkat petani malah bisa anjlok. Perubahan harga kopi di Amerika Serikat tidak menyentuh para petani produsen di Indonesia.

Di sisi yang lain, Pemerintah memang belum terlihat berupaya untuk memadukan berbagai subsektor yang terkait untuk mengembangkan sistem agribisnis. Kasus bea masuk beras dan gula, ditahannya 113 produk pangan Indonesia oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat, kesulitan petani mendapatkan pupuk, dan lain-lain menjadikan contoh tidak adanya perhatian yang terpadu terhadap pengembangan sistem agribisnis di Indonesia.

Masalah lain yang terjadi dan dihadapi oleh pemerintah saat ini seiring dengan bergulirnya era otonomi daerah, adalah masing-masing daerah meng-klaim tentang kepemilikan sumberdaya alam, sehingga ada sebagian daerah yang kemudian menterjemahkannya sebagai legalisasi untuk mengeksploitasi sumberdaya alam tersebut secara besar-besaran karena dituntut untuk pencapaian Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang setinggi-tingginya. Ekses lebih lanjut yang muncul dan berkembang karena kondisi di atas adalah terjadinya disparitas ekonomi antar daerah dan antar golongan masyarakat di negara kita. Disparitas ekonomi yang terjadi sudah sangat mengkhawatirkan, karena selain telah memicu kecemburuan dan kerusuhan sosial, juga telah menumbuhkan benih-benih gejala disintegrasi berbangsa dan bernegara.

b. Badan Usaha; yang berfungsi sebagai penyedia modal usahatani, pengolah hasil dan penanganan pemasarannya.

Beberapa kendala dan permasalahan yang dihadapi oleh para pengusaha yang bergerak di sektor agrisbisnis, terutama para pengusaha menengah dan kecil antara lain adalah :

F Tingkat kemampuan dan profesionalisme sumberdaya manusia yang umumnya masih rendah.

F Kekurangmampuan dalam memanfaatkan dan memperluas peluang dan akses pasar.

F Kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan akses terhadap sumber-sumber permodalan.

F Keterbatasan dalam penguasaan teknologi.

F Kelemahan di bidang organisasi dan manajemen.

Disamping kendala di atas, pengusaha menengah dan kecil juga menghadapi kendala eksternal diantaranya adalah :

F Iklim usaha yang kurang kondusif, karena masih adanya persaingan yang kurang sehat.

F Sarana dan prasarana yang kurang memadai.

F Kurangnya pemahaman, kepercayaan dan kepedulian masyarakat, terutama terhadap koperasi.

c. Petani-nelayan, yang merupakan kelompok masyarakat yang mendominasi sektor agribisnis, sebagai pelaksana usahatani.

Kelompok masyarakat ini umumnya dicirikan oleh kecilnya kepemilikan dan penguasaan factor-faktor produksi, terbatasnya akses terhadap sumber-sumber permodalan (lembaga perbankan), informasi dan teknologi, serta rendahnya tingkat pendidikan dan keterbatasan dalam kemampuan manajerial.

BAB III

STRATEGI INTERVENSI DALAM PERSPEKTIF

PENGEMBANGAN SISTEM AGRIBISNIS

Perumusan strategi intervensi dalam rangka pengembangan sistem agribisnis yang tangguh dan kompetitif, haruslah didasarkan pada analisis lingkungan internal dan eksternal. Kondisi internal sebagaimana yang diuraikan di atas, terlihat bahwa masih terdapat permasalahan-permasalahan yang sangat mendasar yang masih menyelimuti ke-tiga pelaku utama agribisnis di atas. Hal ini menuntut adanya persamaan persepsi, visi dan misi serta keterpaduan antar semua pihak yang terkait, untuk merumuskan strategi-strategi fungsional dalam rangka perombakan sekaligus pembenahan berbagai permasalahan dan ketimpangan di atas, agar sistem agribisnis yang ada sekarang dapat dilaksanakan secara lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan, dalam arti setiap pelaku agribisnis dapat berperan fungsional dan saling membutuhkan dalam kesetaraan.

Di sisi lain, faktor eksternal yang dihadapi sektor agribisnis dewasa ini dan tidak mungkin dapat terelakkan lagi adalah proses liberalisasi ekonomi global, setelah disepakatinya GATT (General Agreement on Trade and Tariff) dan pembentukan WTO (World Trade Organization) (Arief Daryanto dan Heny K.S. Daryanto, 2002). Dua kekuatan yang mendasari perubahan-perubahan dramatis di berbagai belahan dunia saat ini yaitu salah satunya adalah globalisasi, yang dicirikan oleh terjadinya pertumbuhan perdagangan global dan persaingan internasional yang eksplosif (keadaan yang sewaktu-waktu dapat meledak). Tidak ada negara sekarang ini dapat tetap terisolasi dari ekonomi dunia. Satu hal yang cukup dilematis yaitu jika negara itu menutup pasarnya dari persaingan asing, maka penduduknya akan membayar lebih mahal untuk barang berkualitas rendah. Tetapi di sisi lain, jika negara itu membuka pasarnya, maka ia akan menghadapi persaingan yang sangat ketat, dan jika negara tersebut tidak memiliki persiapan yang cukup untuk menyambut kehadiran era tersebut, maka dampaknya adalah banyak usaha domestiknya yang menderita (Philip Kotler, 1997).

Bagi Indonesia, upaya para pemerintah di hampir seluruh dunia yang mengakui kehadiran WTO serta rencana pemberlakukan blok-blok perdagangan regional secara bebas, jelas mempunyai keterkaitan secara eksternal. Begitu juga dengan diterimanya kesepakatan liberalisasi perdagangan dan investasi, mau tidak mau akan mendorong proses transformasi ekonomi di Indonesia. Hal ini akan menimbulkan berbagai implikasi bagi masa depan perekonomian nasional. Liberalisasi ekonomi merupakan sebuah keharusan yang akan mendorong Indonesia untuk lebih meningkatkan kemampuan professional sumberdaya manusianya di semua sektor pembangunan, termasuk sektor agribisnis. Hal ini penting dilakukan mengingat situasi persaingan dalam era liberalisasi sangat tinggi, kompetisi merebut pasar juga sangat tinggi akibat tidak adanya proteksi, dan membanjirnya produk-produk luar dalam pasar domestik (Arief Daryanto dan Heny K.S. Daryanto, 2002).

Dari beberapa permasalahan yang masih menyelimuti kinerja sistem agribisnis serta tantangan-tantangan dalam penyempurnaan dan pengembangan sistem agribisnis ke depan, baik tantangan internal maupun eksternal, maka penulis mencoba untuk menawarkan suatu solusi yang berupa strategi-strategi intervensi untuk menjawab berbagai permasalahan dan tantangan tersebut di atas, agar permasalahan-permasalahan yang ada dapat diatasi/dibenahi atau paling tidak dapat diminimalisir, sedangkan tantangan-tantangan yang ada dapat disikapi secara lebih arif dengan berbagai pendekatan program aksi yang profesional, terstruktur dan gradual.

Beberapa strategi intervensi yang perlu dipertimbangkan dan dilaksanakan oleh semua pihak adalah sebagai berikut :

a. Rasionalisasi layanan pendukung

Pengembangan layanan agribisnis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengembangan sistem agribisnis secara keseluruhan. Rasionalisasi lembaga-lembaga penunjang kegiatan agribisnis harus dilakukan sehubungan dengan peningkatan efisiensi dan daya saing lembaga-lembaga tersebut, baik di dalam negeri maupun dalam pasar global, serta dengan mengembangkan kepercayaan dunia usaha terhadap kemampuan dan kehandalan lembaga-lembaga pemberi jasa tersebut dalam memberikan tunjangan terhadap kegiatan yang dilakukan. Secara khusus, lembaga penunjang yang perlu mendapat perhatian khusus adalah lembaga pemasaran, lembaga keuangan (financial institution) khususnya di pedesaan atau di daerah sentra-sentra produksi komoditas agribisnis, serta lembaga penelitian dan pendidikan khususnya penyuluhan.

b. Kebijakan dan Program Terpadu

Kebijakan-kebijakan yang perlu dilaksanakan adalah dalam bentuk kebijakan dan program agribisnis terpadu, yang mencakup beberapa bentuk kebijaksanaan. Pertama, kebijaksanaan pengembangan produksi dan produktivitas di tingkat perusahaan (firm level policy), terutama menghadapi era liberalisasi perdagangan yang akan datang, dimana perusahaan-perusahaan agribisnis di Indonesia dituntut untuk menumbuhkan keunggulan daya saing global bagi produk-produk yang dihasilkan baik untuk pasar tradisional domestik maupun pasar internasional. Berhasil tidaknya perusahaan-perusahaan agribisnis Indonesia untuk bersaing pada tataran global, sangat tergantung pada sejauh mana perusahaan mampu mengantisipasi kecenderungan-kecenderungan yang terjadi di pasar global. Kedua, kebijaksanaan tingkat sektoral untuk mengembangkan seluruh kegiatan usaha yang sejenis. Ketiga, kebijaksanaan di tingkat sistem agribisnis yang mengatur keterkaitan antara beberapa sektor. Keempat, kebijaksanaan ekonomi makro yang mengatur seluruh kegiatan perekonomian yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap agribisnis.

Sebagai langkah awal, hal tersebut dapat diwujudkan dengan :

F mengembangkan sistem komunikasi yang dapat mengkoordinasikan pelaku-pelaku kegiatan agribisnis dengan penentu-penentu kebijaksanaan yang dapat mempengaruhi sistem agribisnis secara keseluruhan maupun masing-masing subsistem agribisnis;

F membentuk, mengembangkan, dan menguatkan asosiasi pengusaha yang terlibat dalam kegiatan agribisnis pada berbagai jenjang (lokal, regional dan nasional) dan

F mengembangkan kegiatan masing-masing subsistem agribisnis yang terutama ditujukan untuk meningkatkan produktivitas dan kemampuan manajemen melalui kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi.

c. Pengembangan organisasi

Pengembangan agribisnis yang dilakukan oleh petani dan pengusaha berskala kecil membutuhkan lingkungan usaha yang mendukung. Untuk itu dibutuhkan organisasi yang dapat memperjuangkan nasib mereka dalam konteks pemikiran dan konsep agribisnis. Organisasi petani dan usaha kecil tersebut perlu dibangun dalam dimensi integrasi vertical sistem agribisnis, serta harus mampu memberikan layanan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi pelaku usaha agribisnis dalam hal manajemen dan kewirausahaan, modal dan teknologi, melalui mekanisme hubungan antara pelaku usaha agribisnis dengan berbagai kelembagaan penunjang lain.

PENUTUP

Pengembangan sistem agribisnis di Indonesia merupakan tuntutan perkembangan yang logis dan harus dilanjutkan sebagai wujud kesinambungan, penganekaragaman, dan pendalaman pembangunan pertanian yang selama ini telah dilaksanakan.

Pelajaran berharga dari krisis perekonomian nasional saat ini adalah semakin kuatnya keyakinan kita bahwa sektor agribisnis merupakan sektor andalan yang tegar menghadapi guncangan ekonomi. Pada kondisi yang sulit saat ini, agribisnis sangat membantu dalam mempertahankan kestabilan ekonomi nasional baik dalam penyediaan lapangan kerja bagi para penganggur, maupun dalam memperoleh devisa melalui ekspor. Kita harus melakukan upaya-upaya revitalisasi agribisnis agar lebih mampu berssaing di pasar global. Sejalan dengan itu perlu diidentifikasi secara lebih cermat produk-produk unggulan kita yang diinginkan pasar mampu bersaing di pasar global. Untuk itu tidak terlepas dari dukungan pemerintah (Political Will pemerintah) dalam hal memfasilitasi seluruh rangkaian kegiatan agribisnis mulai dari produk hulu sampai ke hilir.

Memperhatikan kondisi agribisnis saat ini, dan visi pembangunan pertanian yaitu mewujudkan masyarakat yang sejahtera khususnya petani, maka kebijakan pembangunan pertanian jangka panjang diarahkan pada pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkeadilan dan berkelanjutan. Pada jangka menengah, pembangunan pertanian diarahkan pada pemberdayaan masyarakat dan menciptakan landasan yang kokoh bagi pembangunan agribisnis melalui pengembangan hubungan yang sinergis antar subsistem agribisnis dan jangka pendek diarahkan untuk mampu memberikan kontribusi dalam upaya percepatan pemulihan ekonomi nasional.

Demikianlah beberapa pokok pikiran yang penulis coba untuk mengangkatnya berdasarkan kompilasi dari beberapa referensi yang ditulis oleh para pakar agribisnis. Dengan harapan, semoga dari tulisan yang belum begitu sempurna ini dapat dijadikan sebagai salah satu titik wacana pemikiran bagi pengembangan sistem agribisnis Indonesia di masa yang akan datang.